Katagori Artikel

KERANGKA HISTORIS UU NO 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia menghendaki peradilan agama yang berdiri sendiri, sesuai pasal 24 dan 25 UUD 1945. usaha menpersiapkan RUU telah dimulai oleh departemen agama sejak tahun 1961, dengan dibentuknya sebuah tim panitia. Sepanjang 28 tahun pembentukan UU No 7 tahun 1989, dibagi menjadi dua tahap : tahap pembentukan rancangan undang-undang (27 tahun) dan tahap pembahasan di DPR/XII/1989, pada tanggal 3 Desember 1988 dan disetujui pada tanggal 14 Desember 1988.

Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :

  • Periode 1961 sampai dengan 1971

Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua

Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

  • Periode 1971 sampai dengan 1981

Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

  • Periode 1981 sampai dengan 1988

Pada periode ini pembentukan persiapan RUU PA lebih baik dan lancar. Menteri agama pada masa ini membentuk tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama dengan keputusan menteri no G 198.PR-09.03 tahun1982 dan izin prakarsa telah diberikan oleh presiden. Setelah pemilu 1977, kesepakatan antara MA, Menteri Kehakiman dan Menteri Agama, maka ketentuan hokum acara yang bersifat umum dikeluarkan, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus tetap dipertahankan, yaitu tantang : cerai. Li’an dan talak, cerai gugat serta perinsif acara yang diangkat dari UU no 14 tahun 1970, sehingga RUU PA yang semula terdiri dari 267 pasal menjadi 108 pasal.

  • Tahap pembahasan RUU PA di DPR

Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

    1. Pembicaraan tingkat 1
    2. Pembicaraan tingkat 2
    3. Pembicaraan tingkat 3
    4. Pembicaraan tingkat 4

Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA

UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :

    1. Bab I Tentang ketentuan umum

Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan agama pada tingkat tinggi merupakan pegadilan bagi orang yang beragama Islam.

    1. Bab II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi. Susunan tersebut terdiri dari 1 orang ketua dan wakil ketua, hakim anggota, panitera, seketaris dan jurusita. Pada bagian kedua berisikan ketentuan tentang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita. Bagian ketiga mengenai sekretaris yang mengatur dalam lingkup peradilan agama.
    2. Bab III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Dimana peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelasaikan perkara-perkara ditingkat pertama bagi orang-orang beragama Islam dibidang :

· Perkawinan

· Kewarisan

· Hiba

· Wakaf dan sedekah

    1. Bab IV Mengatur Hukum Acara
    2. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
    3. Bab VI mengenai peraturan peralihaan
    4. Bab VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa perubahaan Yang terjadi Setelah berlakuknya UU no 7 tahun1989

Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :

  1. Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
  2. Seragamnya peradilan agama seluruh RI
  3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
  4. Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
  5. Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
  6. Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

D. UU No 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No 7 Tahun 1989

Perubahaan mendasar dengan disahkannya UU no 3 tahun 2006 adalah mengenai kompetensi absolute PA, dimana terdapat 42 perubahaan diantaranya perluasan wewenang PA untuk menangani permasalahan zakat, infaq serta wewenang dibidang ekonomi syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik