Katagori Artikel

Should You Be a Lawyer?

A poll in California Lawyer magazine found that 70 percent of lawyers would choose a different career if starting over. A Johns Hopkins poll found that lawyers have the highest rate of depression among 104 careers.

Yet college graduates, in droves, continue to flock to law school. Why? If you’re not a science person, law appears to offer the most obvious path to money and prestige.

How can you predict if you’ll be a happy lawyer?

· Lawyers are generally happier if working for nonprofits or government rather than corporations. The cause feels better and the hours are shorter. The problem is that most aspiring lawyers know that, so competition for jobs in those sectors is fierce. Most successful applicants for those positions are graduates of designer-label law schools—Harvard, Stanford, etc.

· Most lawyers, especially, during their first years of practice, spend little time meeting with clients or appearing in court. Mainly, they do painstaking research, writing, and review of highly detailed documents. Would you like and be good at that?

· The lawyers who make the big bucks routinely work 60-90 hour weeks, especially during the seven years it takes to make partner. Want to do that?

· Your making partner in a law firm depends not only on your lawyering skills but on your rainmaking potential. Are you the sort who is aggressive and impressive enough to convince a corporate client to hire you over the zillions of other corporate attorneys vying for their business?

· Lawyers complain of considerable unethical behavior by opposing attorneys. Could you withstand the pressure without caving? I truly believe that an unethical life isn’t worth living. Better you should be a dishwasher than a crooked lawyer.

sources: www.usnews.com

Alia Sabur, Profesor Termuda...




ALIA SABUR, Wanita kelahiran New York USA pada tanggal 22 February 1989 ini, yang usianya saat ini baru 19 tahun, namun wanita ini telah mencetak rekor sebagai profesor paling muda dalam sejarah di dunia.

Gadis asal Northport, New York ini memang luar biasa. Dia mulai bicara dan membaca ketika masih berumur 8 bulan! Alia menyelesaikan pendidikan SD pada usia 5 tahun.

Dia kemudian masuk kuliah pada umur 10 tahun. Dan pasa umur 14 tahun, Alia meraih gelar sarjana sains dalam bidang matematika aplikasi dari Universitas Stony Brook, wanita paling muda dalam sejarah AS yang berhasil melakukannya.

Pendidikan Alia berlanjut ke Universitas Drexel dan meraih gelar M.S. dan Ph.D. dalam sains dan engineering.

“Saya benar-benar senang mengajar,” kata Alia seperti dilansir MSNBC, Sabtu (26/4/2008). “Ini hal di mana Anda bisa membuat perberdaan. Ini bukan cuma apa yang bisa Anda lakukan, tapi Anda bisa membuat banyak orang menjadi berbeda,” imbuh wanita muda itu.

Dikatakan Alia, yang ingin dilakukannya hanyalah membagi semua yang telah dipelajarinya. “Saya merasa saya bisa membantu banyak orang,” tuturnya.

Selain prestasi akademiknya yang mengagumkan, Alia juga merupakan pemain musik dan pemegang sabuk hitam olahraga bela diri taekwondo.

Pada tanggal 19 February 2008 dia dinobatkan dalam the Guinness Book of World Records sebagai Professor Termuda di Dunia. Mengagumkan, FANTASTIQUE !

KPK Vs Mafia Peradilan

Beradu Pasal


PEPERANGAN DI BELANTARA HUTAN KORUPSI

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu belantara hukum yang begitu luas, berliku dan rumit. Sehingga dibutuhkan panglima dan pasukan khusus untuk menembusnya, yang sudah pasti harus dilengkapi amunisi, suplay logistik, dan konsistensi untuk memburu para koruptor yang bergentayangan di rimba lebat birokrasi. Sebagaimana sebuah perperangan, kekuatan secara fisik, baik jumlah pasukan, mental pasukan dan startegi haruslah mumpuni dan efektif. Bekal tersebut juga belum tentu menjamin akan memenangkan perperangan yang maha dasiat, namun setidaknya itulah bekal minimal yang harus dimiliki.

Belantara penegakan hukum korupsi, menjawab adanya kebutuhan hukum yang kuat. Artinya, instrumen sebagai pengerak penegakan hukum bidang korupsi harus tertata rapi, efektif dan kuat. Akan terjadi suatu proses penegakan hukum yang berubah-ubah. Menurut Erman Radjagukguk Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, mengatakan “sepajang hampir 40 tahun berjuang menegakan hukum ternyata adakalahnya hukum tegak disini dan disana runtuh, disana tegak dan disini roboh, tapi hukum harus selalu ditegakan, penegak hukum harus menegakan hukum yang runtuh dan menjaga hukum yang tegak”.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk atas dasar Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menegakan hukum korupsi yang dalam beberapa dekade sulit untuk ditegakan karena menjadi sebuah colective behaviour atau menjadi budaya bersama-sama. Semua lini penegak hukum seperti memerangi diri sendiri, hasilnya sudah pasti menjadi sejarah bahwa “koruptor sangat sulit untuk dihukum atau untouchable ”, artinya hukum tidak tegak. KPK dijadikan start point dalam penegakan hukum korupsi yang runtuh.

Semasa KPK dipimpin oleh Taufiqurachman Ruki (2003-2008), masyarakat menilai bahwa KPK memiliki cikal bakal lembaga yang dapat menggengam dan menghatam para koruptor, walaupun masih terkesan “tebang pilih” namun sudah ada beberapa benang basah yang mampu ditegakan. Pada jilid kepemimpinan Antasari Anhar (2008), awalnya masyarakat hampir pesimis akan kinerja KPK, hal itu bukan tidak beralasan karena terkait dengan track record sang nakoda yang menuai berbagai catatan. Namun sebuah pembuktian mencengangkan dan menumbuhkan harapan besar, ketika KPK dibawah driver Antasari menghantam lembaga kejaksaan yang pernah membesarkan namanya itu. Kasus Jaksa Urip memang fenomenal, tidak hanya itu saja, banyak pejabat berlevel nasional apalagi daerah berhasil tersangkut oleh jaring KPK. Hasilnya juga fenomenal, kepercayaan masyarakat terhadap KPK mulai tumbuh, harapan berkembang seiring terjangan KPK yang setiap harinya dinanti-nanti, “siapalagi gerangan yang akan terperangkap oleh jaring hukum KPK”.

Atmosfir birokrasi diberbagai level menunjukan kewaspadaan dan terjadi perubahan bahwa korupsi menjadi sebuah ketakutan, sesuatu yang selama ini amat langka untuk kita bayangkan. Alam memang beriaksi, sebagaimana sebuah teori psikologi dimana ada stimulus ada respon, baik positif maupun respon negatif. Apa yang dirangsang oleh KPK sudah pasti direspon oleh masyarakat yang menaroh harapan positif, begitu juga respon dari kelompok-kelompok yang merasa dihancurkan atau terancam atas tindakan KPK tersebut.

Kelompok yang merasa terancam oleh eksistensi KPK ini pun ada berbagai macam. Salah satunya sudah pasti para koruptor yang masih dalam proses dijaring oleh KPK atau mulai menjadi ancar-ancar untuk diambil. Yang fenomenal juga adalah kelompok yang bukanlah koruptor, namun merasa terancam, dalam hal kewenangannya, yaitu kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan. Yang terakhir ini, dipicu oleh banyak faktor, baik secara politik, sosiologis maupun personal. Sudah menjadi tontonan dan nyayian bahwa Kejaksaan dan Kepolisian merasa tersaingi atau terancam kewenangan nya dalam penaganan kasus korupsi, Idiom “Buaya vs cecak” cukup mewakili fenomena tersebut.

Babak paling krusial dan sedang dipertontonkan saat ini adalah berbagai serangan terhadap KPK sebagai institusi, serangan itu tertuju ke berbagai lini, entah itu dilakukan secara sistematis atau tidak, namun kenyataannya sudah sangat jelas. KPK dihantam dengan menghajar orang-orang yang menjalankan fungsinya, tiga orang ketua KPK sudah berstatus tersangka. Para jenderal itu ditahan atas berbagai tuduhan. Satu didakwa terlibat kasus pembunuhan, dua lainnya diduga penyalagunaan kewenangan dan menerima suap. Serangan disisi lainnya dan tidak kalah serius adalah rencana amputasi kewenangan utama yang menjadi modal keberhasilan KPK selama ini, yaitu kewenangan penuntutan yang hendak dikurangi atau mungkin dihilangkan, dan kewenangan teknis lainnya seperti penyadapan yang diduga meresakan berbagai kalangan termasuk para pejabat dan politisi.

“Menyerang adalah pertahan paling baik”, mungkin itulah yang diterapkan oleh pihak-pihak yang merasa terancam kepentingannya oleh KPK, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk melemahkan KPK, bahkan jika perlu di hancurkan. Albert Enstein pernah menyurati seorang pakar ilmu psikologi Sigmund Frend, ia menyampaikan bahwa “semua usaha meniadakan perang telah gagal karena manusia menyimpan di dalam dirinya kesenangan membenci dan menghancurkan”. Tahap awal sudah jelas sekali, dimana kita semua amat membenci dan ingin memerangi korupsi sampai hancur, tetapi perkataan Ennstien juga berlaku bagi pihak-pihak yang merasa terancam dan mengatakan perang terhadap KPK, karena mereka (manusia) menyimpan kesenangan membenci dan menghancurkan KPK.

Agaknya, agar bangsa ini benar-benar bisa memenangi peperangan di rimba belantara korupsi, perlu menerapkan prinsip-prinsip peperang yang diungkapkan Sun Tzu, terutama adalah Menetapkan rencana dengan 5 faktor konstan; Hukum Moral, Langit dan Bumi, Pimpinan, Metode dan Disiplin. Rasa nya tidak perlu diperjelas ke lima faktor konstan tersebut, jika semua itu berada dalam kondisi terbaik, peperangan sangat mungkin untuk dimenangkan. Lalu siapa yang secara langsung harus memegang prinsip ini?, paling tidak para pelaksana di KPK, para pendukung dan pengiat anti korupsi siapapun dan dari kalangan manapun yang memiliki kepedulian.

Sebuah perperangan secara filosofis sangat dasiat terjadi di hutan belantara korupsi bangsa ini, dimana hutan tersebut terletak diperbatasan dan lingkari perkampungan-perkampungan yang di isi oleh orang-orang banyak yang berharap-harap cemas. Memang terkadang hukum tegak dan memang terkadang hukum runtuh, tapi disaat runtuh kita harus menegakkannya, dan itu merupakan proses yang tidak pernah berakhir (never ending process). Yan

Padri

Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemukan kerajaan Pagaruyung.

Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648 ia tak pernah lagi diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah kerajaan dongeng, berlanjut sampai hari ini.

Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun. Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles mampu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi sejarah, mungkin melalui "a feat of archeological alchemy". Maka lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung.

Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa saja yang "India", dan ingin membuktikan adanya kekuasaan Hindu-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam. Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang yang tak membangun apa-apa.

Apalagi Islam, bagi Raffles, adalah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia.

Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham.

Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu.

Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.

Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan barus habis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat?

Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dikehendaki kaum Padri.

Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs -- yang dipuji Sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku terbaik tentang Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir – menampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini.

Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya.

Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bagaimana pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih.

Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepada adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, administratior Belanda mencatat bagaimana masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”.

Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri – juga seandainya perang Padri diteruskan. Paguruyung tersisa atau tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah. (Goenawan Mohamad)

The most popular legal definitions

Limited Liability: The maximum amount a person participating in a business can lose or be charged in case of claims against the company or its bankruptcy. A stockholder in a corporation can only lose his/her investment, and a limited partner can only lose his/her investment, but a general partner can be responsible for all the debts of the partnership. Parties to a contract can limit the amount each might owe the other, but cannot contract away the rights of a third party to make a claim.

Corporation:
an organization formed with state governmental approval to act as an artificial person to carry on business (or other activities), which can sue or be sued, and (unless it is non-profit) can issue shares of stock to raise funds with which to start a business or increase its capital. One benefit is that a corporation's liability for damages or debts is limited to its assets, so the shareholders and officers are protected from personal claims, unless they commit fraud.

Real Estate Investment trust
(nick-named REIT): a real estate investment organization which finds investors and buys real property and gives each investor either a percentage interest in the property itself or an interest in a loan secured by a mortgage or deed of trust on the property. Usually the loan is used to develop the property and build upon it, and then there is a division of profits upon sale-if there is a profit.



Sejarah Peradaban Indonesia


Mexico: Arkeolog Mexico melaporkan,bahwa mereka melakukan penggalian diantara reruntuhan peradaban Aztec. Setelah melakukan penggalian sedalam 300m mereka menemukan kotak surat. Dapat diambil kesimpulan bahwa 500 tahun yang lalu, suku Aztec sudah mengenal surat menyurat dalam berkomunikasi.

Mesir: Ahli purbakala Mesir yang telah melakukan penggalian di sebelah patung spinx menemukan kabel telepon pada kedalaman 200m. Bangsa Mesir mengklaim mereka sudah mengenal telepon sejak jaman King Tut.

China: Setelah melakukan penelitian diantara patung Teracota, ditemukan serat kaca. Bangsa China mengklaim peradaban mereka lebih maju dari bangsa Mesir, karena sudah mengenal fiber optic sejak dinasti Ming.

Indonesia: Dinas purbakala Pemda Magelang yang melakukan penggalian disamping candi Borobudur sampai kedalaman 100 meter tidak menemukan apa-apa. Dilanjutkan sampai kedalaman 500meter lalu 1000meter. Mereka tetap tidak menemukan sesuatu selain tanah dan batu. Kemudian mereka mengambil kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia ternyata paling maju dari bangsa-bangsa di dunia. Sejak jaman dinasti Saylendra bangsa kita sudah menggunakan.... teknologi wireless.

Dua Kuburan, Dua Tanda

Apa yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar belasungkawa semiresmi secara membahana saat kematian Mbah Surip, tetapi nyaris tak terdengar ucapannya saat WS Rendra wafat? Apakah hal itu pertanda derajat kaum "gelandangan" ditinggikan di atas kaum intelektual-budayawan?

Terpujilah jika negara memiliki empati yang lebih besar kepada orang yang lebih menderita. Masalahnya, biografi Mbah Surip berkata lain. Seseorang yang memilih jalan gelandangan sebagai jalan survival, mewakili jutaan gelandangan lainnya yang hidup tidak tergantung dan tanpa perlindungan negara. Sekali negara hadir, hal itu pertanda bencana.

Dalam situasi ordinary, kehadiran negara justru tidak dikehendaki karena menambah beban hidup, tersirat dari kelakar Mbah Surip yang kerap mengaduh, "Ampun pemerintah!" Dalam situasi unordinary, negara hanya hadir saat prahara menerjang, musim pemilu tiba, atau demam Cinderella melanda, tatkala orang-orang biasa sontak terkenal. Itu pun bukanlah karena kepedulian kepada orang biasa, melainkan demi citra dan popularitas (pejabat) negara.

Sebagian kecil dari kaum gelandangan ini berkat perjuangan pantang menyerah berhasil membangun rumah kehidupan, tetapi lebih banyak lagi yang jatuh dari sarangnya. Tanpa peran negara, pahlawan kaum gelandangan ini mengemban misi penyelamatan, "menggendong" beban hidup sesamanya.

Apa yang keluar dari hati akan membekas di hati, seperti spontanitas lagu-lagu Mbah Surip yang bergema di jiwa jutaan pendengarnya. Kekuatan senyawa komunitas inilah yang menjadi kompensasi atas ketidakhirauan negara, yang membuat Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Meski demikian, tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena tata laksana kenegaraan yang menjamin persamaan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, solidaritas kebangsaan mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

"Orang-orang harus dibangunkan," pekik WS Rendra. Seorang penyair hadir, dalam istilah Wallace Stevens, sebagai the priest of the invisible, untuk mengeluarkan terang dari gelap, membawa matahari kesadaran atas kebebalan kekuasaan. Seperti kata John F Kennedy, "Tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Tatkala kuasa menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya. Karena seni membentuk dasar kebenaran manusia yang mesti menjadi landasan keputusan kita."

Memang, "kebanyakan orang melupakan puisi karena kebanyakan puisi melupakan kebanyakan orang", sindir Adrian Mitchell. Namun, sepanjang sejarah kepenyairannya, seorang Rendra adalah saksi penderitaan dan penindasan banyak orang.

Menurut kredonya, "Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan." Ia menjadi artikulator dari suara bisu kaum gelandangan model Mbah Surip: mengingatkan orang yang memanah rembulan serta burung yang jatuh dari sarangnya. Apakah itu dalam "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta", "Pesan Pencopet pada Pacarnya", "Sajak Seonggok Jagung" "Sebatang Lisong", dan banyak lagi yang lainnya, pisau pena Rendra selalu bermata dua: mengiris kezaliman kuasa serta mengupas daya hidup orang biasa.

Ketika negara dan pasar memonopoli tafsir dengan menjadikan subyektivitasnya sebagai standar obyektivitas seraya meminggirkan suara liyan di luar itu. Dalam ketaklukan media dan aparatur pengetahuan pada standar ortodoksi negara dan pasar, keliaran ekspresi artistik sering kali menyediakan wahana tanding bagi warga untuk menemukan kebenaran alternatif. Situasi paradoks pun terjadi.

Sastra sebagai ranah imajinasi malah menjelma menjadi kerajaan obyektivitas; fiksi menjadi pengganti ilmu sosial, dan guru terbaik tentang realitas justru pemimpi, seniman sastrawan. Demikianlah, karya WS Rendra menampilkan deskripsi yang paling genuin dan paling representatif tentang problem riil bangsanya ketika aktor dan institusi pengetahuan lain terbungkam.

Kepergian Rendra (sang artikulator) menyusul kematian Mbah Surip (sang realitas sejati), yang dikubur berdampingan, membersitkan tanda buruk. Kenyataan yang terus-menerus diabaikan oleh kuasa, cuma jadi tumpangan popularitas sesaat, untuk kemudian dikubur di belam narsisme politik. Sementara peran artikulator yang mengganggu kenyamanan kuasa dikesampingkan sebagai sesuatu yang tidak berharga, lantas dikubur dari kesadaran publik.

Namun, ribuan orang yang menyertai mereka ke pembaringan terakhir memberi kita optimisme bahwa kesejatian cinta dan kewarasan pikir tak bisa dikubur. Seperti memenuhi nubuat Antonio Skármeta, sastrawan Cile, "Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan."

"Tuhan menolong pemimpin yang menghargai seni," tulis Lord Melbourne. Ketika seniman besar wafat, saatnya para pemimpin memuliakan seni agar yang ada di langit mencintai yang ada di bumi. (Yudi Latif)


KONTROVERSI PUTUSAN MA NO 15/2009

Makamah Agung (MA) telah mengeluarkan sebuah keputusan uji materil peraturan perudang-undangan terhadap Undang-undang, yaitu Keputusan KPU mengenai perhitungan suara tahap ke dua dengan UU Pemilu (Peraturan KPU No. 15/KPU/2009 Vs UU NO. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu). Sebenarnya,Peraturan KPU No. 15/KPU/2009 peraturan KPU ini telah diajukan judicial Review sebanyak 2 kali, yang pertama diajukan oleh pemohon Drs. Rusdi dari Kabupaten Malang dengan Judicial Review Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.MA melalui Putusan Nomor 16 P/HUM/2009, tanggal 18 Juni 2009 mengabulkan gugatan Judicial Review Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 secara keseluruhan. Dalam sidang Majelis Hakim Agung, yang dinyatakan terbuka untuk umum tersebut, dipimpin oleh Hakim Agung, Prof. DR. Ahmad Sukardja, SH. dengan Anggota-anggota, H.Imam Soebechi, SH. MH. dan Marina Sidabutar, SH. MH. dengan Panitera Pengganti, Handri Anik Effendi, SH. pada tanggal 18 Juni 2009 yang lalu.

Dalam amar putusannya Mahkamah Agung mengabulkan seluruh petitum yang dimohonkan oleh Pemohon Drs. Rusdi. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b pada Peraturan KPU Nomor 15/2009 bertentangan dengan UU Nomor 10/2008, serta memerintahkan KPU untuk segera mencabut dan menyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian, maka mekanisme dan tatacara penetapan perolehan kursi serta calon terpilih hasil Pemilu 2009 berubah menjadi 3 (tiga) tahap. Tahap Pertama, diberikan kepada partai politik yang memenuhi angka BPP. Tahap Kedua, diberikan kepada partai politik yang memiliki sisa suara BPP. dan Tahap Ketiga, bila masih terdapat sisa kursi, maka diberikan kepada partai politik berdasarkan perolehan suara hasil Pemilu secara berurutan sesuai peringkat suara yang diperoleh oleh parpol tersebut.

Pada bagian lain Putusan MA tersebut, juga disebutkan bahwa, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil, telah ditentukan, bahwa dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyatapejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum. Oleh karenanya KPU Pusat, KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, diminta untuk segera merevisi Keputusan Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih untuk disesuaikan dengan Putusan MA tersebut.

Gugatan kedua terhadap Peraturan KPU No. 15/2009 di ajukan oleh Zainal Maarif, dalam hal ini MA juga akhirnya memenangkan permohonan hak uji materi (judicial review) terhadap peraturan KPU Nomor 15/2009, khususnya Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 Ayat 1 dan 3. Pasal-pasal dalam peraturan KPU ini dinilai bertentangan dengan UU No 10/2008 Pasal 205 Ayat 4. Sedikit kontroversi, sebelumnya hal yang sama pernah dilakukan oleh Hasto Kristionato politisi dari PDIP, namun kala itu MA menolak permohonan yang diajukannya. Putusan MA terhadap permohonan Judicial Review tersebut memberikan dampak yang sangat besar, yaitu terjadinya pengurungan jumlah kursi sejumlah partai menegah di DPR dan DPRD serta bertambahnya sejumlah kursi partai-partai besar. Hal inilah yang membuat banyak pihak berpikir "adanya kepentingan terselubung" dari putusan MA tersebut.

Jika dilihat dari Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Makamah Agung, terutama pasal 31 ayat 1, dimana dinyatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Jadi, judicial review terhadap beberapa pasal Peraturan KPU No.15/2009 secara yuridis adalah kewenangan MA. Menjadi pertanyaan, apakah Peraturan KPU No. 15/2009 adalah termasuk kedalam golongan peraturan perudang-undangan? bukankah bisah dikatakan sebagai sebuah keputusan pejabat negara? jika ia sebagai keputusan pejabat negara, bukankah seharusnya di ajukan kepengadilan PTUN?, jika bukan sebuah peraturan perundang-undangan apakah dapat disebut sebagai Peraturan LSM atau lembaga lainnya?.

Jika kita cermati secara mendasar, Peraturan KPU tersebut termasuk kedalam katagori peraturan perudang-undangan, bukanlah sebuah keputusan atau ketetapan pejabat negara. sehingga secara hukum MA memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review.

IMPLIKASI Putusan MA

Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, putusan MA bersifat prospektive, artinya jika tidak dijalankan akan terjadi perbuatan melawan hukum, sehingga harus dipatuhi. Pendapat tersebut cukup beralasan, Indonesia sebagai sebuah negara hukum, segala tindakan elemen Negara, haruslah didasarkan landasan hukum. Tidak bisa kita bayangkan bahwa di dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi, hukum tidak memiliki tempat yang tinggi, semua akan bertindak atas dasar sendiri-sendiri. MA sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kehakiman harus dipatuhi oleh berbagai elemen masyarakat. Atas dasar kekuasaan kehakiman tersebut, MA juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dan pelaksanaanya.

Putusan MA keluar setelah KPU menetapkan semua hasil Pemilu legislatif melalui keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 pada tanggal 9 April lalu. Putusan MA No 15/0 /HUM/ 2009 yang diambil pada 18 Juni 2009. Dalam putusannya itu MA menyebut bahwa peraturan KPU yang mengatur penghitungan di tahap kedua itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Pemilu, dan karenanya pasal yang bersangkutan harus dicabut. Dalam keputusan ini juga, KPU diminta untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi parpol serta pemilu anggota DPR dalam pileg 9 April lalu. Timbul sebuah pertanyaan, Apakah putusan MA tersebut dapat berlaku surut (retroaktive)? bagaimana jika KPU tidak menjalankan putusan tersebut?. MA pernah mengeluarkan putusan sejenis terhadap hasil PILKADA di Provinsi Lampung, dan meminta KPUD Lampung membatalkan keputusan KPUD, tetapi putusan MA tidak dilaksanakan oleh KPUD dan KPUD tidak mendapatkan sangsi apa-apa. Apakah keadaan ini juga bisa terjadi? mengingat sifatnya lebih luas (nasional). Seorang ahli Hukum Tata Negara berpendapat, seharusnya KPU melaksanakan saja putusan MA tersebut, jika ada pihak yang berkeberatan, sengketa hasil pemilu dapat diajukan keberatan ke MK, biarlah MK yang memutuskan secara final.



Perubahan DPT Melanggar UU

Daftar pemilih tetap pemilu presiden yang diubah sebanyak tiga kali oleh Komisi Pemilihan Umum adalah pelanggar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi perubahan SK KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara, yaitu 6 Juli. Dalam UU Nomor 42/2008 ditegaskan bahwa penetapan DPT paling lambat 30 hari menjelang pemungutan suara.
DPT hanya dapat ditetapkan satu kali saja oleh KPU, jika ditetapkan berkali-kali dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang pemilu.
Pekan lalu, Bawaslu meminta klarifikasi KPU terkait dengan DPT dan hitung cepat melalui sistem pesan pendek (SMS). KPU mengubah DPT melalui sebuah SK sebanyak dua kali, yaitu pada 8 Juni dan 6 Juli. Selain itu, DPT juga berubah pada 7 Juli karena adanya KPU kabupaten/kota yang baru memasukkan data pemilih satu hari menjelang pemungutan suara.
Terkait dengan rekomendasi Panitia Pengawas Pemilu mengenai perubahan DPT, banyak Panwas daerah yang tidak melaporkan ke Bawaslu. Dalam rapat koordinasi Panwas memang dibicarakan mengenai rekomendasi terkait DPT dan ada beberapa provinsi yang melaporkan.
Di UU No 42/2008 disebutkan, Panwas mengawasi jalannya penyusunan DPT, kemudian memberikan rekomendasi. Bukan saat DPT sudah ditetapkan, lalu ada rekomendasi Panwas dan KPU bisa mengubah DPT, itu merupakan pelanggaran UU,Pengawasan atas penyusunan daftar pemilih diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No 42/2008. Pasal 31 menyebutkan, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan daftar pemilih sementara, pemutakhiran DPS, dan penyusunan DPT.

Izin Ganjal Pemeriksaan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 Tahun 2009 menyebutkan, untuk penyidikan kepala daerah atau wakil kepala daerah serta anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diduga melakukan korupsi dan terorisme atau tertangkap tangan tak perlu izin tertulis. Namun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, mengakui, penerapan SEMA itu masih terganjal perlunya izin dari Presiden, terutama untuk kepala daerah yang dibentuk setelah era Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan itu sudah disampaikan ke MA sehingga akan dikaji, jika tidak segera diluruskan, bisa menjadi krikil tajam pemberantasan korupsi di republik ini.

Permohonan paten dari AS tempati urutan teratas

Permohonan paten dari Amerika Serikat hingga kini (periode Jan.-Mei 2009) menempati urutan teratas disusul oleh Jepang.

Menurut data Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, selama periode Januari permohonan paten dari AS mencapai 423.

Paten asing kini lebih cenderung memilih fasilitas Patent Cooperation Treaty (PCT) dalam mengajukan paten ke Indonesia. Tren penggunaan PCT kini cenderung meningkat karena lebih efisien bila dibandingkan dengan cara mengajukan permohonan langsung ke Indonesia.

KLAUSUL Mahasiswa akan dikenai denda

LOUISIANA: Lousiana State University akan memberikan denda senilai US$50 bagi setiap mahasiswa yang mengunduh dan berbagi file pada jaringan universitas itu secara ilegal.

Denda ini rencananya diberlakukan universitas tersebut kepada para mahasiswanya, mulai 1 Agustus. Tindakan itu dilakukan dalam rangka mendukung Digital Millennium Copyright Act.

Juru bicara Louisiana State University, Sheri Thompson, menyebutkan sedikitnya 200 pengunduhan secara ilegal dalam sistem komputerisasi universitas itu tahun lalu.

Sanksi denda ini, menurut Thompson, dikenakan kepada para mahasiswa karena adanya kecenderungan peningkatan jumlah pelanggaran secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Memihak

Politik adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theolog itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Hal ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik – artinya seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama.

Niehbuhr memakai kata “tugas”. Kata yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan.

Hal ini disebut “luka” karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkrit, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang dilenyapkan di masa “Orde Baru” dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang dibunuh dengan brutal karena ia mengritik orang yang berkuasa.

Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang terasa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya apa yang adil, aku terpanggil.

Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata clerc disebut sebagai “intelektuil,” tapi itu adalah padanan yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke kalangan rohaniawan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok dan mengobar-ngobarkan “nafsu politik”.

Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia menganggap “nilai-nilai universal” itu sudah terpateri selesai di dalam diri. Ia tak mengakui bahwa yang “universal” datang dari pengalaman manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang berkekurangan, terbatas, hidup dengan liyan, fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapapun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai universal konon ditampik.

Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru bagi “ras Arya”, kaum “Islamis” hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri.

Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi akhirnya ia tak berbuat hanya untuk kebaikan kaumnya. Ia menang untuk meruntuhkan kekuasaan apartheid yang memperlakukan orang secara menghina berdasarkan warna kulit. Maka kemenangan Mandela baru berarti kemenangan bila ia mengalahkan apartheid juga dalam bentuk baru. Demikianlah Mandela tak mendiskriminasikan orang kulit putih di bawah pemerintahannya. Di dalam cerita Afrika Selatan, luka ketidak-adilan itu memanggil keadilan dalam arti yang sebenarnya: keadilan hanya “adil” bila keadaan itu berlaku bagi siapa saja.

Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas seperti dalam politik Mandela tumbuh dari trauma. Tapi tak hanya itu. Kepedihan itu diakui sebagai sebuah mala yang tak dapat dibiarkan bercokol di sebuah masyarakat jika masyarakat itu ingin hidup. Dengan kata lain, politik, sebagaimana dijalankan Mandela, adalah perjuangan ke sesuatu yang universal, dari sebuah situasi yang partikular.

Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Dengan itu ia memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita.

Tapi, seperti disebut di atas, dunia memang berdosa. Penderitaan dan kekejian tak pernah hilang dari dalamnya. Maka perjuangan, atau pergulatan politik, akan selalu dibayangi cacat. Kita tak bisa menerima “politik sebagai panglima” bila di sana tak ada kebebasan lagi untuk mengakui cacat itu, bila pertimbangan kalah dan menang menelan secara total seluruh sudut hidup kita, selama-lamanya. Sebab tiap perjuangan politik akan terbentur pada keterbatasannya sendiri.

Maka bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.

Saya katakan tadi: kita bersiap kecewa. Tapi kita tak menyerah. Sebab kita tak akan bisa lupa Munir: kita tak akan menghalalkan ketak-adilan sebagai kewajaran hidup. Pengalaman sejarah menunjukkan, di tengah ketidak-adilan yang akut, yang kita derita, manusia selalu menghendaki keadilan -- yang entah di mana, yang entah kapan datang.

Dari perspektif ini, Ratu Adil bukanlah takhayul. Ia sebuah ideal yang tak hadir. Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.

Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.

Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.

Disadur dari tulisan GWM

EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian senketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (Ajudikatif).

Hukum acara yang sepnjang ini berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri। Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No। 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan। Perma No। 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung। Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)।

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008। Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi। Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.

Hal ini berbeda dengan substansi dari Perma Nomor 2 Tahun 2003, dimana Mediasi hanya diwajibkan pada saat perkara belum masuk ke pengadilan saja (hanya ditawarkan pada awal). Mediasi dalam Perma Nomor 2 tahun 2003, merupakan mediasi yang di adopsi dari proses perdamaian di pengadilan.।Sedangkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 muncul karena Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan। Mulai tahun 2006 dibentuk working group team untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihak, mulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Tidak seperti Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang hanya mengadopsi dari proses perdamaian di pengadilan.

Terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi। Jika dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif। Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun lebih detail, lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, merupakan proses yang seharusnya fleksible dan memberikan kesempatan luas kepada para pihak untuk melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan.

Seringkali pengaturan yang rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari Perma No. 1 tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa:

“Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Ketentuan ini perlu diperhatikan berbagai pihak, semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ini.

Perma No। 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan Perma No. 1 tahun 2008 ini.

Jika diperbandingkan dengan Perma No. 2 tahun 2003, maka Perma 2003 tidak memberikan sanksi, dalam Perma 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan Perma No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.

Perubahan mendasar dalam Perma No। 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.

Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU.

Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator। Perma No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan Perma No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.

Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional। Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa Perma No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati। Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.

Menjadi persoalan mendasar jika para pihak yang berpekara tidak mempunyai keinginan atau kemauan untuk melakukan mediasi, hal itu akan menyebabkan keadaan atau situasi yang tidak efektif terhadap keharusan melakukan mediasi। Akan tetapi, secara medasar perlu dipahami bahwa kemampuan para pihak melihat sebuah alternatif dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi biasanya terbatas, sehingga perlu didorong untuk dapat melihat dan mengetahui sebuah cara-cara yang tidak terpikirkan dan terbayangkan sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan para pihak mampu menemukan dan melihat sisi positif dari proses mediasi yang ditawarkan.

Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu। Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.

Pada era Perma Nomor 2 tahun 2003, banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma dan merupakan formalitas yang belum ada sanksinya। Sekarang situasi tersebut dapat saja terjadi kembali. Para pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau melihat adanya keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi.

Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal। Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga pemahaman mengenai mediasi sangat penting. Seharusnya proses memberikan pemahaman terhadap manfaat penyelesaian perkara melalui mediasi (sosialisasi), harus dilakukan terlebih dahulu secara maksimal sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi, idealnya sebelum Perma No 1 tahun 2008 diberlakukan. Lebih jauh, meminjam pernyataan Frehman bahwa pembangunan cultur hukum adalah bagian ujung yang terpenting, artinya proses penyelesaian perkara melalui mediasi adalah budaya hukum masyarakat.

Hal ideal yang seharusnya terjadi adalah adanya tuntutan masyarakat pentingnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara harus lebih tinggi dan kemudian pengadilan memfasilitasinya, akan tetapi, saat ini masyarakat belum menunjukan adanya kebutuhan mendesak perlunya mediasi dan tidak paham arti dari mediasi, sehingga Perma No. 1 2008 mendobrak semua keadaan tersebut, hasilnya adalah sebuah pertanyaan, apakah Perma Nomor 1 Tahun 2008 akan efektif , dengan segala komponen pendukung yang belum tersedia?, harus diingat bahwa Filosofi Alternative Dispute Resolution khususnya mediasi adalah sukarela dan untuk membantu, bukan untuk membebani.
(Ryan)

KERANGKA HISTORIS UU NO 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia menghendaki peradilan agama yang berdiri sendiri, sesuai pasal 24 dan 25 UUD 1945. usaha menpersiapkan RUU telah dimulai oleh departemen agama sejak tahun 1961, dengan dibentuknya sebuah tim panitia. Sepanjang 28 tahun pembentukan UU No 7 tahun 1989, dibagi menjadi dua tahap : tahap pembentukan rancangan undang-undang (27 tahun) dan tahap pembahasan di DPR/XII/1989, pada tanggal 3 Desember 1988 dan disetujui pada tanggal 14 Desember 1988.

Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :

  • Periode 1961 sampai dengan 1971

Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua

Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

  • Periode 1971 sampai dengan 1981

Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

  • Periode 1981 sampai dengan 1988

Pada periode ini pembentukan persiapan RUU PA lebih baik dan lancar. Menteri agama pada masa ini membentuk tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama dengan keputusan menteri no G 198.PR-09.03 tahun1982 dan izin prakarsa telah diberikan oleh presiden. Setelah pemilu 1977, kesepakatan antara MA, Menteri Kehakiman dan Menteri Agama, maka ketentuan hokum acara yang bersifat umum dikeluarkan, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus tetap dipertahankan, yaitu tantang : cerai. Li’an dan talak, cerai gugat serta perinsif acara yang diangkat dari UU no 14 tahun 1970, sehingga RUU PA yang semula terdiri dari 267 pasal menjadi 108 pasal.

  • Tahap pembahasan RUU PA di DPR

Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

    1. Pembicaraan tingkat 1
    2. Pembicaraan tingkat 2
    3. Pembicaraan tingkat 3
    4. Pembicaraan tingkat 4

Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA

UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :

    1. Bab I Tentang ketentuan umum

Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan agama pada tingkat tinggi merupakan pegadilan bagi orang yang beragama Islam.

    1. Bab II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi. Susunan tersebut terdiri dari 1 orang ketua dan wakil ketua, hakim anggota, panitera, seketaris dan jurusita. Pada bagian kedua berisikan ketentuan tentang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita. Bagian ketiga mengenai sekretaris yang mengatur dalam lingkup peradilan agama.
    2. Bab III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Dimana peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelasaikan perkara-perkara ditingkat pertama bagi orang-orang beragama Islam dibidang :

· Perkawinan

· Kewarisan

· Hiba

· Wakaf dan sedekah

    1. Bab IV Mengatur Hukum Acara
    2. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
    3. Bab VI mengenai peraturan peralihaan
    4. Bab VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa perubahaan Yang terjadi Setelah berlakuknya UU no 7 tahun1989

Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :

  1. Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
  2. Seragamnya peradilan agama seluruh RI
  3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
  4. Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
  5. Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
  6. Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

D. UU No 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No 7 Tahun 1989

Perubahaan mendasar dengan disahkannya UU no 3 tahun 2006 adalah mengenai kompetensi absolute PA, dimana terdapat 42 perubahaan diantaranya perluasan wewenang PA untuk menangani permasalahan zakat, infaq serta wewenang dibidang ekonomi syariah.

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik