Katagori Artikel

EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian senketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (Ajudikatif).

Hukum acara yang sepnjang ini berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri। Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No। 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan। Perma No। 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung। Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)।

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008। Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi। Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.

Hal ini berbeda dengan substansi dari Perma Nomor 2 Tahun 2003, dimana Mediasi hanya diwajibkan pada saat perkara belum masuk ke pengadilan saja (hanya ditawarkan pada awal). Mediasi dalam Perma Nomor 2 tahun 2003, merupakan mediasi yang di adopsi dari proses perdamaian di pengadilan.।Sedangkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 muncul karena Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan। Mulai tahun 2006 dibentuk working group team untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihak, mulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Tidak seperti Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang hanya mengadopsi dari proses perdamaian di pengadilan.

Terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi। Jika dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif। Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun lebih detail, lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, merupakan proses yang seharusnya fleksible dan memberikan kesempatan luas kepada para pihak untuk melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan.

Seringkali pengaturan yang rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari Perma No. 1 tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa:

“Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Ketentuan ini perlu diperhatikan berbagai pihak, semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ini.

Perma No। 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan Perma No. 1 tahun 2008 ini.

Jika diperbandingkan dengan Perma No. 2 tahun 2003, maka Perma 2003 tidak memberikan sanksi, dalam Perma 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan Perma No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.

Perubahan mendasar dalam Perma No। 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.

Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU.

Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator। Perma No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan Perma No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.

Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional। Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa Perma No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati। Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.

Menjadi persoalan mendasar jika para pihak yang berpekara tidak mempunyai keinginan atau kemauan untuk melakukan mediasi, hal itu akan menyebabkan keadaan atau situasi yang tidak efektif terhadap keharusan melakukan mediasi। Akan tetapi, secara medasar perlu dipahami bahwa kemampuan para pihak melihat sebuah alternatif dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi biasanya terbatas, sehingga perlu didorong untuk dapat melihat dan mengetahui sebuah cara-cara yang tidak terpikirkan dan terbayangkan sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan para pihak mampu menemukan dan melihat sisi positif dari proses mediasi yang ditawarkan.

Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu। Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.

Pada era Perma Nomor 2 tahun 2003, banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma dan merupakan formalitas yang belum ada sanksinya। Sekarang situasi tersebut dapat saja terjadi kembali. Para pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau melihat adanya keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi.

Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal। Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga pemahaman mengenai mediasi sangat penting. Seharusnya proses memberikan pemahaman terhadap manfaat penyelesaian perkara melalui mediasi (sosialisasi), harus dilakukan terlebih dahulu secara maksimal sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi, idealnya sebelum Perma No 1 tahun 2008 diberlakukan. Lebih jauh, meminjam pernyataan Frehman bahwa pembangunan cultur hukum adalah bagian ujung yang terpenting, artinya proses penyelesaian perkara melalui mediasi adalah budaya hukum masyarakat.

Hal ideal yang seharusnya terjadi adalah adanya tuntutan masyarakat pentingnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara harus lebih tinggi dan kemudian pengadilan memfasilitasinya, akan tetapi, saat ini masyarakat belum menunjukan adanya kebutuhan mendesak perlunya mediasi dan tidak paham arti dari mediasi, sehingga Perma No. 1 2008 mendobrak semua keadaan tersebut, hasilnya adalah sebuah pertanyaan, apakah Perma Nomor 1 Tahun 2008 akan efektif , dengan segala komponen pendukung yang belum tersedia?, harus diingat bahwa Filosofi Alternative Dispute Resolution khususnya mediasi adalah sukarela dan untuk membantu, bukan untuk membebani.
(Ryan)

KERANGKA HISTORIS UU NO 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia menghendaki peradilan agama yang berdiri sendiri, sesuai pasal 24 dan 25 UUD 1945. usaha menpersiapkan RUU telah dimulai oleh departemen agama sejak tahun 1961, dengan dibentuknya sebuah tim panitia. Sepanjang 28 tahun pembentukan UU No 7 tahun 1989, dibagi menjadi dua tahap : tahap pembentukan rancangan undang-undang (27 tahun) dan tahap pembahasan di DPR/XII/1989, pada tanggal 3 Desember 1988 dan disetujui pada tanggal 14 Desember 1988.

Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :

  • Periode 1961 sampai dengan 1971

Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua

Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

  • Periode 1971 sampai dengan 1981

Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

  • Periode 1981 sampai dengan 1988

Pada periode ini pembentukan persiapan RUU PA lebih baik dan lancar. Menteri agama pada masa ini membentuk tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama dengan keputusan menteri no G 198.PR-09.03 tahun1982 dan izin prakarsa telah diberikan oleh presiden. Setelah pemilu 1977, kesepakatan antara MA, Menteri Kehakiman dan Menteri Agama, maka ketentuan hokum acara yang bersifat umum dikeluarkan, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus tetap dipertahankan, yaitu tantang : cerai. Li’an dan talak, cerai gugat serta perinsif acara yang diangkat dari UU no 14 tahun 1970, sehingga RUU PA yang semula terdiri dari 267 pasal menjadi 108 pasal.

  • Tahap pembahasan RUU PA di DPR

Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

    1. Pembicaraan tingkat 1
    2. Pembicaraan tingkat 2
    3. Pembicaraan tingkat 3
    4. Pembicaraan tingkat 4

Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA

UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :

    1. Bab I Tentang ketentuan umum

Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan agama pada tingkat tinggi merupakan pegadilan bagi orang yang beragama Islam.

    1. Bab II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi. Susunan tersebut terdiri dari 1 orang ketua dan wakil ketua, hakim anggota, panitera, seketaris dan jurusita. Pada bagian kedua berisikan ketentuan tentang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita. Bagian ketiga mengenai sekretaris yang mengatur dalam lingkup peradilan agama.
    2. Bab III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Dimana peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelasaikan perkara-perkara ditingkat pertama bagi orang-orang beragama Islam dibidang :

· Perkawinan

· Kewarisan

· Hiba

· Wakaf dan sedekah

    1. Bab IV Mengatur Hukum Acara
    2. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
    3. Bab VI mengenai peraturan peralihaan
    4. Bab VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa perubahaan Yang terjadi Setelah berlakuknya UU no 7 tahun1989

Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :

  1. Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
  2. Seragamnya peradilan agama seluruh RI
  3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
  4. Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
  5. Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
  6. Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

D. UU No 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No 7 Tahun 1989

Perubahaan mendasar dengan disahkannya UU no 3 tahun 2006 adalah mengenai kompetensi absolute PA, dimana terdapat 42 perubahaan diantaranya perluasan wewenang PA untuk menangani permasalahan zakat, infaq serta wewenang dibidang ekonomi syariah.

Thersites

Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari sekitar abad ke-9 Sebelum Masehi.

Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam mereka yang berkuasa.

Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat Raja Agamemnon.

”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.”

Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.”

Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”.

Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu….”

Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah.

Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan….

Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.”

Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang tidak.

Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tuhan”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undian. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang memerintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebetulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan peran sosial.

Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan.

Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam kisah Yunani kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial lebih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapatnya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran Troya dan saudara sekandung.

Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés.

Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.

Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang diletakkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi. Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin ditinggalkan sendiri di ambang Perang Troya?

Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa dahsyat.

Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon.

Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia sebuah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta.

Sumber tulisan dari Goenawan Mohamad

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik