Katagori Artikel

PEPERANGAN DI BELANTARA HUTAN KORUPSI

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu belantara hukum yang begitu luas, berliku dan rumit. Sehingga dibutuhkan panglima dan pasukan khusus untuk menembusnya, yang sudah pasti harus dilengkapi amunisi, suplay logistik, dan konsistensi untuk memburu para koruptor yang bergentayangan di rimba lebat birokrasi. Sebagaimana sebuah perperangan, kekuatan secara fisik, baik jumlah pasukan, mental pasukan dan startegi haruslah mumpuni dan efektif. Bekal tersebut juga belum tentu menjamin akan memenangkan perperangan yang maha dasiat, namun setidaknya itulah bekal minimal yang harus dimiliki.

Belantara penegakan hukum korupsi, menjawab adanya kebutuhan hukum yang kuat. Artinya, instrumen sebagai pengerak penegakan hukum bidang korupsi harus tertata rapi, efektif dan kuat. Akan terjadi suatu proses penegakan hukum yang berubah-ubah. Menurut Erman Radjagukguk Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, mengatakan “sepajang hampir 40 tahun berjuang menegakan hukum ternyata adakalahnya hukum tegak disini dan disana runtuh, disana tegak dan disini roboh, tapi hukum harus selalu ditegakan, penegak hukum harus menegakan hukum yang runtuh dan menjaga hukum yang tegak”.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk atas dasar Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menegakan hukum korupsi yang dalam beberapa dekade sulit untuk ditegakan karena menjadi sebuah colective behaviour atau menjadi budaya bersama-sama. Semua lini penegak hukum seperti memerangi diri sendiri, hasilnya sudah pasti menjadi sejarah bahwa “koruptor sangat sulit untuk dihukum atau untouchable ”, artinya hukum tidak tegak. KPK dijadikan start point dalam penegakan hukum korupsi yang runtuh.

Semasa KPK dipimpin oleh Taufiqurachman Ruki (2003-2008), masyarakat menilai bahwa KPK memiliki cikal bakal lembaga yang dapat menggengam dan menghatam para koruptor, walaupun masih terkesan “tebang pilih” namun sudah ada beberapa benang basah yang mampu ditegakan. Pada jilid kepemimpinan Antasari Anhar (2008), awalnya masyarakat hampir pesimis akan kinerja KPK, hal itu bukan tidak beralasan karena terkait dengan track record sang nakoda yang menuai berbagai catatan. Namun sebuah pembuktian mencengangkan dan menumbuhkan harapan besar, ketika KPK dibawah driver Antasari menghantam lembaga kejaksaan yang pernah membesarkan namanya itu. Kasus Jaksa Urip memang fenomenal, tidak hanya itu saja, banyak pejabat berlevel nasional apalagi daerah berhasil tersangkut oleh jaring KPK. Hasilnya juga fenomenal, kepercayaan masyarakat terhadap KPK mulai tumbuh, harapan berkembang seiring terjangan KPK yang setiap harinya dinanti-nanti, “siapalagi gerangan yang akan terperangkap oleh jaring hukum KPK”.

Atmosfir birokrasi diberbagai level menunjukan kewaspadaan dan terjadi perubahan bahwa korupsi menjadi sebuah ketakutan, sesuatu yang selama ini amat langka untuk kita bayangkan. Alam memang beriaksi, sebagaimana sebuah teori psikologi dimana ada stimulus ada respon, baik positif maupun respon negatif. Apa yang dirangsang oleh KPK sudah pasti direspon oleh masyarakat yang menaroh harapan positif, begitu juga respon dari kelompok-kelompok yang merasa dihancurkan atau terancam atas tindakan KPK tersebut.

Kelompok yang merasa terancam oleh eksistensi KPK ini pun ada berbagai macam. Salah satunya sudah pasti para koruptor yang masih dalam proses dijaring oleh KPK atau mulai menjadi ancar-ancar untuk diambil. Yang fenomenal juga adalah kelompok yang bukanlah koruptor, namun merasa terancam, dalam hal kewenangannya, yaitu kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan. Yang terakhir ini, dipicu oleh banyak faktor, baik secara politik, sosiologis maupun personal. Sudah menjadi tontonan dan nyayian bahwa Kejaksaan dan Kepolisian merasa tersaingi atau terancam kewenangan nya dalam penaganan kasus korupsi, Idiom “Buaya vs cecak” cukup mewakili fenomena tersebut.

Babak paling krusial dan sedang dipertontonkan saat ini adalah berbagai serangan terhadap KPK sebagai institusi, serangan itu tertuju ke berbagai lini, entah itu dilakukan secara sistematis atau tidak, namun kenyataannya sudah sangat jelas. KPK dihantam dengan menghajar orang-orang yang menjalankan fungsinya, tiga orang ketua KPK sudah berstatus tersangka. Para jenderal itu ditahan atas berbagai tuduhan. Satu didakwa terlibat kasus pembunuhan, dua lainnya diduga penyalagunaan kewenangan dan menerima suap. Serangan disisi lainnya dan tidak kalah serius adalah rencana amputasi kewenangan utama yang menjadi modal keberhasilan KPK selama ini, yaitu kewenangan penuntutan yang hendak dikurangi atau mungkin dihilangkan, dan kewenangan teknis lainnya seperti penyadapan yang diduga meresakan berbagai kalangan termasuk para pejabat dan politisi.

“Menyerang adalah pertahan paling baik”, mungkin itulah yang diterapkan oleh pihak-pihak yang merasa terancam kepentingannya oleh KPK, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk melemahkan KPK, bahkan jika perlu di hancurkan. Albert Enstein pernah menyurati seorang pakar ilmu psikologi Sigmund Frend, ia menyampaikan bahwa “semua usaha meniadakan perang telah gagal karena manusia menyimpan di dalam dirinya kesenangan membenci dan menghancurkan”. Tahap awal sudah jelas sekali, dimana kita semua amat membenci dan ingin memerangi korupsi sampai hancur, tetapi perkataan Ennstien juga berlaku bagi pihak-pihak yang merasa terancam dan mengatakan perang terhadap KPK, karena mereka (manusia) menyimpan kesenangan membenci dan menghancurkan KPK.

Agaknya, agar bangsa ini benar-benar bisa memenangi peperangan di rimba belantara korupsi, perlu menerapkan prinsip-prinsip peperang yang diungkapkan Sun Tzu, terutama adalah Menetapkan rencana dengan 5 faktor konstan; Hukum Moral, Langit dan Bumi, Pimpinan, Metode dan Disiplin. Rasa nya tidak perlu diperjelas ke lima faktor konstan tersebut, jika semua itu berada dalam kondisi terbaik, peperangan sangat mungkin untuk dimenangkan. Lalu siapa yang secara langsung harus memegang prinsip ini?, paling tidak para pelaksana di KPK, para pendukung dan pengiat anti korupsi siapapun dan dari kalangan manapun yang memiliki kepedulian.

Sebuah perperangan secara filosofis sangat dasiat terjadi di hutan belantara korupsi bangsa ini, dimana hutan tersebut terletak diperbatasan dan lingkari perkampungan-perkampungan yang di isi oleh orang-orang banyak yang berharap-harap cemas. Memang terkadang hukum tegak dan memang terkadang hukum runtuh, tapi disaat runtuh kita harus menegakkannya, dan itu merupakan proses yang tidak pernah berakhir (never ending process). Yan

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik