Katagori Artikel

Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

PEPERANGAN DI BELANTARA HUTAN KORUPSI

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu belantara hukum yang begitu luas, berliku dan rumit. Sehingga dibutuhkan panglima dan pasukan khusus untuk menembusnya, yang sudah pasti harus dilengkapi amunisi, suplay logistik, dan konsistensi untuk memburu para koruptor yang bergentayangan di rimba lebat birokrasi. Sebagaimana sebuah perperangan, kekuatan secara fisik, baik jumlah pasukan, mental pasukan dan startegi haruslah mumpuni dan efektif. Bekal tersebut juga belum tentu menjamin akan memenangkan perperangan yang maha dasiat, namun setidaknya itulah bekal minimal yang harus dimiliki.

Belantara penegakan hukum korupsi, menjawab adanya kebutuhan hukum yang kuat. Artinya, instrumen sebagai pengerak penegakan hukum bidang korupsi harus tertata rapi, efektif dan kuat. Akan terjadi suatu proses penegakan hukum yang berubah-ubah. Menurut Erman Radjagukguk Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, mengatakan “sepajang hampir 40 tahun berjuang menegakan hukum ternyata adakalahnya hukum tegak disini dan disana runtuh, disana tegak dan disini roboh, tapi hukum harus selalu ditegakan, penegak hukum harus menegakan hukum yang runtuh dan menjaga hukum yang tegak”.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk atas dasar Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menegakan hukum korupsi yang dalam beberapa dekade sulit untuk ditegakan karena menjadi sebuah colective behaviour atau menjadi budaya bersama-sama. Semua lini penegak hukum seperti memerangi diri sendiri, hasilnya sudah pasti menjadi sejarah bahwa “koruptor sangat sulit untuk dihukum atau untouchable ”, artinya hukum tidak tegak. KPK dijadikan start point dalam penegakan hukum korupsi yang runtuh.

Semasa KPK dipimpin oleh Taufiqurachman Ruki (2003-2008), masyarakat menilai bahwa KPK memiliki cikal bakal lembaga yang dapat menggengam dan menghatam para koruptor, walaupun masih terkesan “tebang pilih” namun sudah ada beberapa benang basah yang mampu ditegakan. Pada jilid kepemimpinan Antasari Anhar (2008), awalnya masyarakat hampir pesimis akan kinerja KPK, hal itu bukan tidak beralasan karena terkait dengan track record sang nakoda yang menuai berbagai catatan. Namun sebuah pembuktian mencengangkan dan menumbuhkan harapan besar, ketika KPK dibawah driver Antasari menghantam lembaga kejaksaan yang pernah membesarkan namanya itu. Kasus Jaksa Urip memang fenomenal, tidak hanya itu saja, banyak pejabat berlevel nasional apalagi daerah berhasil tersangkut oleh jaring KPK. Hasilnya juga fenomenal, kepercayaan masyarakat terhadap KPK mulai tumbuh, harapan berkembang seiring terjangan KPK yang setiap harinya dinanti-nanti, “siapalagi gerangan yang akan terperangkap oleh jaring hukum KPK”.

Atmosfir birokrasi diberbagai level menunjukan kewaspadaan dan terjadi perubahan bahwa korupsi menjadi sebuah ketakutan, sesuatu yang selama ini amat langka untuk kita bayangkan. Alam memang beriaksi, sebagaimana sebuah teori psikologi dimana ada stimulus ada respon, baik positif maupun respon negatif. Apa yang dirangsang oleh KPK sudah pasti direspon oleh masyarakat yang menaroh harapan positif, begitu juga respon dari kelompok-kelompok yang merasa dihancurkan atau terancam atas tindakan KPK tersebut.

Kelompok yang merasa terancam oleh eksistensi KPK ini pun ada berbagai macam. Salah satunya sudah pasti para koruptor yang masih dalam proses dijaring oleh KPK atau mulai menjadi ancar-ancar untuk diambil. Yang fenomenal juga adalah kelompok yang bukanlah koruptor, namun merasa terancam, dalam hal kewenangannya, yaitu kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan. Yang terakhir ini, dipicu oleh banyak faktor, baik secara politik, sosiologis maupun personal. Sudah menjadi tontonan dan nyayian bahwa Kejaksaan dan Kepolisian merasa tersaingi atau terancam kewenangan nya dalam penaganan kasus korupsi, Idiom “Buaya vs cecak” cukup mewakili fenomena tersebut.

Babak paling krusial dan sedang dipertontonkan saat ini adalah berbagai serangan terhadap KPK sebagai institusi, serangan itu tertuju ke berbagai lini, entah itu dilakukan secara sistematis atau tidak, namun kenyataannya sudah sangat jelas. KPK dihantam dengan menghajar orang-orang yang menjalankan fungsinya, tiga orang ketua KPK sudah berstatus tersangka. Para jenderal itu ditahan atas berbagai tuduhan. Satu didakwa terlibat kasus pembunuhan, dua lainnya diduga penyalagunaan kewenangan dan menerima suap. Serangan disisi lainnya dan tidak kalah serius adalah rencana amputasi kewenangan utama yang menjadi modal keberhasilan KPK selama ini, yaitu kewenangan penuntutan yang hendak dikurangi atau mungkin dihilangkan, dan kewenangan teknis lainnya seperti penyadapan yang diduga meresakan berbagai kalangan termasuk para pejabat dan politisi.

“Menyerang adalah pertahan paling baik”, mungkin itulah yang diterapkan oleh pihak-pihak yang merasa terancam kepentingannya oleh KPK, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk melemahkan KPK, bahkan jika perlu di hancurkan. Albert Enstein pernah menyurati seorang pakar ilmu psikologi Sigmund Frend, ia menyampaikan bahwa “semua usaha meniadakan perang telah gagal karena manusia menyimpan di dalam dirinya kesenangan membenci dan menghancurkan”. Tahap awal sudah jelas sekali, dimana kita semua amat membenci dan ingin memerangi korupsi sampai hancur, tetapi perkataan Ennstien juga berlaku bagi pihak-pihak yang merasa terancam dan mengatakan perang terhadap KPK, karena mereka (manusia) menyimpan kesenangan membenci dan menghancurkan KPK.

Agaknya, agar bangsa ini benar-benar bisa memenangi peperangan di rimba belantara korupsi, perlu menerapkan prinsip-prinsip peperang yang diungkapkan Sun Tzu, terutama adalah Menetapkan rencana dengan 5 faktor konstan; Hukum Moral, Langit dan Bumi, Pimpinan, Metode dan Disiplin. Rasa nya tidak perlu diperjelas ke lima faktor konstan tersebut, jika semua itu berada dalam kondisi terbaik, peperangan sangat mungkin untuk dimenangkan. Lalu siapa yang secara langsung harus memegang prinsip ini?, paling tidak para pelaksana di KPK, para pendukung dan pengiat anti korupsi siapapun dan dari kalangan manapun yang memiliki kepedulian.

Sebuah perperangan secara filosofis sangat dasiat terjadi di hutan belantara korupsi bangsa ini, dimana hutan tersebut terletak diperbatasan dan lingkari perkampungan-perkampungan yang di isi oleh orang-orang banyak yang berharap-harap cemas. Memang terkadang hukum tegak dan memang terkadang hukum runtuh, tapi disaat runtuh kita harus menegakkannya, dan itu merupakan proses yang tidak pernah berakhir (never ending process). Yan

Perubahan DPT Melanggar UU

Daftar pemilih tetap pemilu presiden yang diubah sebanyak tiga kali oleh Komisi Pemilihan Umum adalah pelanggar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi perubahan SK KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara, yaitu 6 Juli. Dalam UU Nomor 42/2008 ditegaskan bahwa penetapan DPT paling lambat 30 hari menjelang pemungutan suara.
DPT hanya dapat ditetapkan satu kali saja oleh KPU, jika ditetapkan berkali-kali dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang pemilu.
Pekan lalu, Bawaslu meminta klarifikasi KPU terkait dengan DPT dan hitung cepat melalui sistem pesan pendek (SMS). KPU mengubah DPT melalui sebuah SK sebanyak dua kali, yaitu pada 8 Juni dan 6 Juli. Selain itu, DPT juga berubah pada 7 Juli karena adanya KPU kabupaten/kota yang baru memasukkan data pemilih satu hari menjelang pemungutan suara.
Terkait dengan rekomendasi Panitia Pengawas Pemilu mengenai perubahan DPT, banyak Panwas daerah yang tidak melaporkan ke Bawaslu. Dalam rapat koordinasi Panwas memang dibicarakan mengenai rekomendasi terkait DPT dan ada beberapa provinsi yang melaporkan.
Di UU No 42/2008 disebutkan, Panwas mengawasi jalannya penyusunan DPT, kemudian memberikan rekomendasi. Bukan saat DPT sudah ditetapkan, lalu ada rekomendasi Panwas dan KPU bisa mengubah DPT, itu merupakan pelanggaran UU,Pengawasan atas penyusunan daftar pemilih diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No 42/2008. Pasal 31 menyebutkan, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan daftar pemilih sementara, pemutakhiran DPS, dan penyusunan DPT.

Izin Ganjal Pemeriksaan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 Tahun 2009 menyebutkan, untuk penyidikan kepala daerah atau wakil kepala daerah serta anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diduga melakukan korupsi dan terorisme atau tertangkap tangan tak perlu izin tertulis. Namun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, mengakui, penerapan SEMA itu masih terganjal perlunya izin dari Presiden, terutama untuk kepala daerah yang dibentuk setelah era Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan itu sudah disampaikan ke MA sehingga akan dikaji, jika tidak segera diluruskan, bisa menjadi krikil tajam pemberantasan korupsi di republik ini.

EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian senketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (Ajudikatif).

Hukum acara yang sepnjang ini berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri। Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No। 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan। Perma No। 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung। Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)।

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008। Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi। Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.

Hal ini berbeda dengan substansi dari Perma Nomor 2 Tahun 2003, dimana Mediasi hanya diwajibkan pada saat perkara belum masuk ke pengadilan saja (hanya ditawarkan pada awal). Mediasi dalam Perma Nomor 2 tahun 2003, merupakan mediasi yang di adopsi dari proses perdamaian di pengadilan.।Sedangkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 muncul karena Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan। Mulai tahun 2006 dibentuk working group team untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihak, mulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Tidak seperti Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang hanya mengadopsi dari proses perdamaian di pengadilan.

Terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi। Jika dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif। Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun lebih detail, lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, merupakan proses yang seharusnya fleksible dan memberikan kesempatan luas kepada para pihak untuk melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan.

Seringkali pengaturan yang rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari Perma No. 1 tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa:

“Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Ketentuan ini perlu diperhatikan berbagai pihak, semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ini.

Perma No। 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan Perma No. 1 tahun 2008 ini.

Jika diperbandingkan dengan Perma No. 2 tahun 2003, maka Perma 2003 tidak memberikan sanksi, dalam Perma 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan Perma No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.

Perubahan mendasar dalam Perma No। 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.

Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU.

Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator। Perma No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan Perma No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.

Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional। Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa Perma No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati। Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.

Menjadi persoalan mendasar jika para pihak yang berpekara tidak mempunyai keinginan atau kemauan untuk melakukan mediasi, hal itu akan menyebabkan keadaan atau situasi yang tidak efektif terhadap keharusan melakukan mediasi। Akan tetapi, secara medasar perlu dipahami bahwa kemampuan para pihak melihat sebuah alternatif dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi biasanya terbatas, sehingga perlu didorong untuk dapat melihat dan mengetahui sebuah cara-cara yang tidak terpikirkan dan terbayangkan sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan para pihak mampu menemukan dan melihat sisi positif dari proses mediasi yang ditawarkan.

Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu। Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.

Pada era Perma Nomor 2 tahun 2003, banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma dan merupakan formalitas yang belum ada sanksinya। Sekarang situasi tersebut dapat saja terjadi kembali. Para pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau melihat adanya keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi.

Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal। Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga pemahaman mengenai mediasi sangat penting. Seharusnya proses memberikan pemahaman terhadap manfaat penyelesaian perkara melalui mediasi (sosialisasi), harus dilakukan terlebih dahulu secara maksimal sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi, idealnya sebelum Perma No 1 tahun 2008 diberlakukan. Lebih jauh, meminjam pernyataan Frehman bahwa pembangunan cultur hukum adalah bagian ujung yang terpenting, artinya proses penyelesaian perkara melalui mediasi adalah budaya hukum masyarakat.

Hal ideal yang seharusnya terjadi adalah adanya tuntutan masyarakat pentingnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara harus lebih tinggi dan kemudian pengadilan memfasilitasinya, akan tetapi, saat ini masyarakat belum menunjukan adanya kebutuhan mendesak perlunya mediasi dan tidak paham arti dari mediasi, sehingga Perma No. 1 2008 mendobrak semua keadaan tersebut, hasilnya adalah sebuah pertanyaan, apakah Perma Nomor 1 Tahun 2008 akan efektif , dengan segala komponen pendukung yang belum tersedia?, harus diingat bahwa Filosofi Alternative Dispute Resolution khususnya mediasi adalah sukarela dan untuk membantu, bukan untuk membebani.
(Ryan)

KERANGKA HISTORIS UU NO 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia menghendaki peradilan agama yang berdiri sendiri, sesuai pasal 24 dan 25 UUD 1945. usaha menpersiapkan RUU telah dimulai oleh departemen agama sejak tahun 1961, dengan dibentuknya sebuah tim panitia. Sepanjang 28 tahun pembentukan UU No 7 tahun 1989, dibagi menjadi dua tahap : tahap pembentukan rancangan undang-undang (27 tahun) dan tahap pembahasan di DPR/XII/1989, pada tanggal 3 Desember 1988 dan disetujui pada tanggal 14 Desember 1988.

Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :

  • Periode 1961 sampai dengan 1971

Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua

Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

  • Periode 1971 sampai dengan 1981

Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

  • Periode 1981 sampai dengan 1988

Pada periode ini pembentukan persiapan RUU PA lebih baik dan lancar. Menteri agama pada masa ini membentuk tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama dengan keputusan menteri no G 198.PR-09.03 tahun1982 dan izin prakarsa telah diberikan oleh presiden. Setelah pemilu 1977, kesepakatan antara MA, Menteri Kehakiman dan Menteri Agama, maka ketentuan hokum acara yang bersifat umum dikeluarkan, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus tetap dipertahankan, yaitu tantang : cerai. Li’an dan talak, cerai gugat serta perinsif acara yang diangkat dari UU no 14 tahun 1970, sehingga RUU PA yang semula terdiri dari 267 pasal menjadi 108 pasal.

  • Tahap pembahasan RUU PA di DPR

Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

    1. Pembicaraan tingkat 1
    2. Pembicaraan tingkat 2
    3. Pembicaraan tingkat 3
    4. Pembicaraan tingkat 4

Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA

UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :

    1. Bab I Tentang ketentuan umum

Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan agama pada tingkat tinggi merupakan pegadilan bagi orang yang beragama Islam.

    1. Bab II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi. Susunan tersebut terdiri dari 1 orang ketua dan wakil ketua, hakim anggota, panitera, seketaris dan jurusita. Pada bagian kedua berisikan ketentuan tentang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita. Bagian ketiga mengenai sekretaris yang mengatur dalam lingkup peradilan agama.
    2. Bab III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Dimana peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelasaikan perkara-perkara ditingkat pertama bagi orang-orang beragama Islam dibidang :

· Perkawinan

· Kewarisan

· Hiba

· Wakaf dan sedekah

    1. Bab IV Mengatur Hukum Acara
    2. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
    3. Bab VI mengenai peraturan peralihaan
    4. Bab VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa perubahaan Yang terjadi Setelah berlakuknya UU no 7 tahun1989

Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :

  1. Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
  2. Seragamnya peradilan agama seluruh RI
  3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
  4. Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
  5. Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
  6. Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

D. UU No 3 Tahun 2006 Tentang perubahan UU No 7 Tahun 1989

Perubahaan mendasar dengan disahkannya UU no 3 tahun 2006 adalah mengenai kompetensi absolute PA, dimana terdapat 42 perubahaan diantaranya perluasan wewenang PA untuk menangani permasalahan zakat, infaq serta wewenang dibidang ekonomi syariah.

HUKUM PENANAMAN MODAL ASING

Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya.1
Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri. Untuk mengarah kesana, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri.2
Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana pembagunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana international lainnya seperti pinjaman luar negeri.3
Penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelengaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.4
Modal asing yang dibawa oleh investor merupakan hal yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Selain itu, kegiatan investasi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima modal, seperti mendorong pertumbuhan bisnis, adanya supply teknologi dari investor baik dalam bentuk proses produksi maupun teknologi permesinan, dan menciptakan lapangan kerja.5
Penanaman modal asing merupakan salah satu bentuk utama transaksi bisnis internasional, di banyak negara, peraturan pemerintah tentang penanaman modal asing mensyaratkan adanya joint venture, yaitu ketentuan bahwa penanaman modal asing harus membentuk joint venture dengan perusahaan lokal untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang mereka inginkan.6
Dibukanya peluang bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, maka dengan sendirinya dibutuhkan perangkat hukum untuk mengatur pelaksanaannya, agar investasi yang diharapkan memberikan keuntungan yang besar dan meningkatkan perekonomian Indonesia.
Sejarah Orde Baru selama periode 1966-1997 telah membuktikan betapa pentingnya peran investasi langsung khususnya asing (Penanaman Modal Asing) sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Negara Indonesia.7
Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikutinya. Diantaranya adalah Undang-undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing jo Undang-undang No. 11 tahun 1970, Undang-undang N0. 6 Tahun 1968 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian diubah dengan Undang-undang Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Dalam ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal selanjutnya disebut UUPM, menyatakan bahwa:

“Penanaman Modal Asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilyah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.8

Mengadakan joint venture agreement merupakan langkah awal dalam membentuk perusahaan joint venture. Di mana di dalam perjanjian joint venture agreement berisikan kesepakatan para pihak tentang kepemilikan modal, saham, peningkatan kepemilikan saham penyertaan, keuangan, kepengurusan, teknologi dan tenaga ahli, penyelesaian sengketa yang mungkin akan terjadi, dan berakhirnya perjanjian joint venture. Pengusaha asing dan pengusaha lokal membentuk suatu perusahaan baru yang disebut perusahaan joint venture di mana mereka menjadi pemegang saham yang besarnya sesuai dengan kesepakatan bersama.9 Landasan pembentukan perusahaan joint venture tersebut adalah joint venture agreement dan ketentuan umum perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
UUPM memberikan wewenang kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk melakukan koordinasi di dalam pelaksanaan penanaman modal, wewenang tersebut tercantum dalam pasal 27 ayat 2 UUPM. Namun ketentuan pelaksanaannya belum dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk ketentuan-ketentuan lainnya dari UUPM.
Dampak dari kondisi ini maka peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur mengenai pelaksanaan penanaman modal masih diberlakukan ketentuan terdahulu yang bersumber dari Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPA dan UUPMD) yang didasari oleh ketentuan peralihan pasal 37 UUPM No. 25 Tahun 2007.
Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 10/SK/1985 Jo Keputusan Kepala BKPM No. 6/SK/1987 jo Keputusan BKPM No. 57/SK/2004 jo Peraturan Kepala BKPM No. 1/P/2008, mensyaratkan bahwa salah satu syarat permohonan penanaman modal asing adalah Arrangement of Joint Venture Agreement yang harus disertakan dalam permohonan.
Joint Venture Agreement yang dijadikan salah satu syarat dalam penanaman modal asing oleh BKPM digunakan sebagai dasar dibentuknya Joint Venture Company. Artinya Joint Venture Company tunduk kepada hukum perjanjian. Namun dalam UUPM pasal 5 ayat 2, joint venture company harus berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. 10 Sehingga dapat dikatakan bahwa Joint Venture Company tunduk kepada hukum perusahaan dalam hal ini Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
Penanaman Modal dan Penanaman Modal Asing
Dalam ketentuan umum Bab I Pasal 1 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal (UUPM) mendefinisikan Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. 11 Lebih lanjut untuk pengaturan penanaman modal asing yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaannya dapat menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.12
Ketentuan mengenai penanaman modal asing merujuk pada ketentuan dalam pasal lain dalam UUPM, yaitu pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa Penaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 13 Adapun mekanisme permodalannya dapat dilakukan dengan cara:
a.Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan tebatas;
b.Membeli saham; dan
c.Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 14
Pengertian penanaman modal asing dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, hanyalah mencakupi penanaman modal asing yang bersifat langsung (foreign direct investment). Penanaman modal langsung diartikan bahwa pemilik modal menanggung resiko dari investasi tersebut dan pemilik modal secara langsung menjalankan perusahaannya yang bersangkutan di Wilayah Republik Indonesia.15
Pasal 37 ayat 1 UUPM mengisyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan sebelumnya masih diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPM yang baru dan selama belum diaturnya ketentuan yang berdasarkan UUPM yang baru. 16 Pasal ini membawah pengaruh penting, karena peraturan-peraturan pelaksana yang didasari oleh undang-undang sebelumnya masih dapat diberlakukan. Salah satunya adalah Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 10/SK/1985 Jo Keputusan Kepala BKPM No. 6/SK/1987 jo Keputusan BKPM No. 57/SK/2004 jo Peraturan Kepala BKPM No. 1/P/2008, mensyaratkan bahwa salah satu syarat permohonan penanaman modal asing adalah Arrangement of Joint venture Agreement yang harus disertakan dalam permohonan.
Joint venture
Partisipasi modal nasional dalam perusahaan penanaman modal asing telah menjadi kecenderungan umum baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun negara-negara maju. Hal tersebut merupakan pencerminan nasionalisme di bidang ekonomi dan merupakan keinginan untuk menghindari ketergantungan pada dan kontrol asing terhadap perekonomian mereka.17
Strategi termudah untuk dapat melakukan hak tersebut adalah pemberlakuan ketentuan keharusan adanya joint venture.
Bagi pelaku usaha sendiri, joint venture merupakan salah satu cara efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha. Sebagaimana yang dikemukan oleh Ian Hewitt dalam bukunya Joint Venture:

Joint venture are vital to business. They have become an important strategic option for many companies, particularly those operating internationally. Even the larges companies do not have capital, skill or market access necessary to achieve their commercial objectives entirely through their own recourse. Rarely a day passes without an announcement of a significant new joint venture or alliance.18

Sedangkan istilah joint venture menurut Peter Muchlinski dalam bukunya yang berjudul Multinational Enterprise and the Law adalah sebagai berikut :

“The term ‘joint venture’ has no precise legal meaning, it can refer to any agreement or undertaking between two independent firms. However, certain features are commonly associated with the concept. In particular, the joint venture involves the cooperation of two or more otherwise independent parent undertakings which are linked, through the venture, in the pursuit of a common commercial, financial or technical activity”.19

Perjanjian joint venture tunduk dengan berbagai persyaratan yang diatur oleh hukum yang mengatur joint venture tersebut, sedangkan bentuk hukum dari joint venture tersebut dapat saja mengambil model perjanjian, persekutuan perdata, ataupun perseroan terbatas.20
Joint Venture agreement
Istilah Joint Venture Agreement sengaja tidak diterjemahkan menjadi usaha patungan sebagaimana telah dikenal di Indonesia, hal tersebut bertujuan untuk tidak terjadi salah pengertian, karena usaha patungan sendiri dapat saja berbetuk joint venture, joint enterprise, kontrak karya, production sharing, penanaman modal dengan DICS-rupiah (Debt Investment Conversion Schema), penanaman modal dengan kredit investasi dan portofolio investment. Joint venture agreement atau biasa disebut perjanjian kerjasama patungan adalah suatu kontrak yang mengawali kerjasama joint venture, kontrak ini menjadi dasar pembentukan atau pendirian joint venture company. 22
Joint venture agreement dalam praktek lebih sering digunakan jika hal tersebut mengandung ketentuan yang lebih luas yang berkaitan dengan pendirian awal joint venture company, condition precedent, dan kontribusi business para pihak. 23
Lebih lanjut dijelaskan Muchlinski, bahwa joint venture agreement antara perusahaan mengatur mengenai pengendalian perusahaan, proporsi modal, pengaturan pembagian keuntungan, bentuk hukum dari joint venture, serta pengaturan mengenai pengakhiran perjanjian.24


Joint Venture Company
Henry Campbell Black mengartikan Joint Venture Company merupakan sebuah asosiasi dari orang-orang untuk melakukan sebuah usaha bisnis untuk memperoleh keuntungan, untuk mengkombinasikan aset mereka berupa uang, saham, keahlian dan pengetahuan yang dimiliki. 25 Joint Venture Company merupakan perusahaan yang pemegang sahamnya dimiliki oleh mereka yang mengadakan perjanjian joint venture.
Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.26
Memperjelas mengenai definisi perjanjian, M Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 27 Definisi perjanjian juga dapat ditemui dalam pasal 1313 KUHPerdata.
Menurut pasal 1320 KHUPerdata, suatu perjanjian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.Kata Sepakat: adalah terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak yang terjadi diantara para pihak dan kesepakatan tersebut harus diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana dicantum dalam pasal 1321 KUHPerdata.
b.Kecakapan: adalah seseorang memiliki kewenangan dalam bertindak secara hukum baik untuk kepentingan sendiri ataupun orang lain yang diwakili, pasal 1330 KUHPerdata menentukan pihak-pihak yang tidak cakap, yaitu 1). orang-orang yang belum dewasa, 2) mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3) orang-orang perempuan atau orang-orang yang dilarang untuk membuat perjanjian. Akan tetapi ketentuan ini berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan menyatakan bahwa istri adalah cakap membuat perjanjian.
c.Hal Tertentu: adalah objek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung dan dapat diketahui jenisnya.
d.Sebab Yang Halal: adalah isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang yang bersifat menggangu kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat menggangu kepentingan umum. 28

--------------------

Reference :
1.Ahmad Yulianto, “Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 39.
2.Ridwan Khairandy,”Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 51.
3.Yulianto Syahyu,”Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 46.
4.Indonesia, Undang-undang Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penjelasan umum alenia ke 2. Lembar Negara Nomor 67. Tahun 2007.
5.Delisa A. Ridgway dan Mariya A.Talib, ”Globalization and Development: Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law”, California Western International Law Journal, Vol 33, Spring 2003, hal. 335.
6.Jonh W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: Proyek Elips, 1997, hal 71.
7.Tulus Tambunan, “Kendala Perizinan Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia dan Upaya Perbaikan Yang Perlu di Lakukan Pemerintah”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26 No. 4, Tahun 2007, hal 35.
8.Indonesia, Undang-undang Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar Negara Nomor 67. Tahun 2007. Pasal 5 ayat 2.
9.Erman Radjagukguk, Modul Hukum Investasi di Indonesia: Pokok Bahasan, (FHUI, 2006), hal. 117.
10.Indonesia, Undang-undang Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar Negara Nomor 67. Tahun 2007. Ps 5 ayat 2
11.Indonesia, Op.cit., Ps 1
12.Indonesia, Op.cit., Ps 1 ayat 3.
13.Indonesia, Op.cit., Ps 5 ayat 2.
14.Ibid., ps 5 ayat 3.
15.Erman Radjagukguk, Op.cit., hal 61.
16.Indonesia, Op.cit., Pasal 37 ayat 1.
17.Erman Radjagukguk, Op. cit, hal 83
18.Ian Hewitt, Joint Ventures, Second edition, Sweet and Maxwell A Thomson Company, 2001, hal 1.
19.Peter Muchlinski, Multinational Enterprise and The Law, (Oxford: Blackwell, 1997), hal 72.
20.Ibid., hal 20.
21.Aminudin, Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Universitas Hasanudin, 1990), hal. 10.
22.Ridwan Khairandy, “Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa Di Perusahaan Joint Venture”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 4, Tahun 2007, hlm 43.
23.Ian Hewitt, Op.cit., hal 35.
24.Peter Muchlinski, Op.cit., hal 72
25.Ridwan Khairandy, Op.cit., hal 42
26.Subekti, Hukum Perjanjian , (Jakarta: Intermasa, 2005) Cet. 21, 2005. hal. 1
27.M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 6.
28.Subekti, Op.cit., hal 141-144

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik