Katagori Artikel

KONTROVERSI PUTUSAN MA NO 15/2009

Makamah Agung (MA) telah mengeluarkan sebuah keputusan uji materil peraturan perudang-undangan terhadap Undang-undang, yaitu Keputusan KPU mengenai perhitungan suara tahap ke dua dengan UU Pemilu (Peraturan KPU No. 15/KPU/2009 Vs UU NO. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu). Sebenarnya,Peraturan KPU No. 15/KPU/2009 peraturan KPU ini telah diajukan judicial Review sebanyak 2 kali, yang pertama diajukan oleh pemohon Drs. Rusdi dari Kabupaten Malang dengan Judicial Review Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.MA melalui Putusan Nomor 16 P/HUM/2009, tanggal 18 Juni 2009 mengabulkan gugatan Judicial Review Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 secara keseluruhan. Dalam sidang Majelis Hakim Agung, yang dinyatakan terbuka untuk umum tersebut, dipimpin oleh Hakim Agung, Prof. DR. Ahmad Sukardja, SH. dengan Anggota-anggota, H.Imam Soebechi, SH. MH. dan Marina Sidabutar, SH. MH. dengan Panitera Pengganti, Handri Anik Effendi, SH. pada tanggal 18 Juni 2009 yang lalu.

Dalam amar putusannya Mahkamah Agung mengabulkan seluruh petitum yang dimohonkan oleh Pemohon Drs. Rusdi. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b pada Peraturan KPU Nomor 15/2009 bertentangan dengan UU Nomor 10/2008, serta memerintahkan KPU untuk segera mencabut dan menyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian, maka mekanisme dan tatacara penetapan perolehan kursi serta calon terpilih hasil Pemilu 2009 berubah menjadi 3 (tiga) tahap. Tahap Pertama, diberikan kepada partai politik yang memenuhi angka BPP. Tahap Kedua, diberikan kepada partai politik yang memiliki sisa suara BPP. dan Tahap Ketiga, bila masih terdapat sisa kursi, maka diberikan kepada partai politik berdasarkan perolehan suara hasil Pemilu secara berurutan sesuai peringkat suara yang diperoleh oleh parpol tersebut.

Pada bagian lain Putusan MA tersebut, juga disebutkan bahwa, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil, telah ditentukan, bahwa dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyatapejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum. Oleh karenanya KPU Pusat, KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, diminta untuk segera merevisi Keputusan Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih untuk disesuaikan dengan Putusan MA tersebut.

Gugatan kedua terhadap Peraturan KPU No. 15/2009 di ajukan oleh Zainal Maarif, dalam hal ini MA juga akhirnya memenangkan permohonan hak uji materi (judicial review) terhadap peraturan KPU Nomor 15/2009, khususnya Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 Ayat 1 dan 3. Pasal-pasal dalam peraturan KPU ini dinilai bertentangan dengan UU No 10/2008 Pasal 205 Ayat 4. Sedikit kontroversi, sebelumnya hal yang sama pernah dilakukan oleh Hasto Kristionato politisi dari PDIP, namun kala itu MA menolak permohonan yang diajukannya. Putusan MA terhadap permohonan Judicial Review tersebut memberikan dampak yang sangat besar, yaitu terjadinya pengurungan jumlah kursi sejumlah partai menegah di DPR dan DPRD serta bertambahnya sejumlah kursi partai-partai besar. Hal inilah yang membuat banyak pihak berpikir "adanya kepentingan terselubung" dari putusan MA tersebut.

Jika dilihat dari Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Makamah Agung, terutama pasal 31 ayat 1, dimana dinyatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Jadi, judicial review terhadap beberapa pasal Peraturan KPU No.15/2009 secara yuridis adalah kewenangan MA. Menjadi pertanyaan, apakah Peraturan KPU No. 15/2009 adalah termasuk kedalam golongan peraturan perudang-undangan? bukankah bisah dikatakan sebagai sebuah keputusan pejabat negara? jika ia sebagai keputusan pejabat negara, bukankah seharusnya di ajukan kepengadilan PTUN?, jika bukan sebuah peraturan perundang-undangan apakah dapat disebut sebagai Peraturan LSM atau lembaga lainnya?.

Jika kita cermati secara mendasar, Peraturan KPU tersebut termasuk kedalam katagori peraturan perudang-undangan, bukanlah sebuah keputusan atau ketetapan pejabat negara. sehingga secara hukum MA memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review.

IMPLIKASI Putusan MA

Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, putusan MA bersifat prospektive, artinya jika tidak dijalankan akan terjadi perbuatan melawan hukum, sehingga harus dipatuhi. Pendapat tersebut cukup beralasan, Indonesia sebagai sebuah negara hukum, segala tindakan elemen Negara, haruslah didasarkan landasan hukum. Tidak bisa kita bayangkan bahwa di dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi, hukum tidak memiliki tempat yang tinggi, semua akan bertindak atas dasar sendiri-sendiri. MA sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kehakiman harus dipatuhi oleh berbagai elemen masyarakat. Atas dasar kekuasaan kehakiman tersebut, MA juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dan pelaksanaanya.

Putusan MA keluar setelah KPU menetapkan semua hasil Pemilu legislatif melalui keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 pada tanggal 9 April lalu. Putusan MA No 15/0 /HUM/ 2009 yang diambil pada 18 Juni 2009. Dalam putusannya itu MA menyebut bahwa peraturan KPU yang mengatur penghitungan di tahap kedua itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Pemilu, dan karenanya pasal yang bersangkutan harus dicabut. Dalam keputusan ini juga, KPU diminta untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi parpol serta pemilu anggota DPR dalam pileg 9 April lalu. Timbul sebuah pertanyaan, Apakah putusan MA tersebut dapat berlaku surut (retroaktive)? bagaimana jika KPU tidak menjalankan putusan tersebut?. MA pernah mengeluarkan putusan sejenis terhadap hasil PILKADA di Provinsi Lampung, dan meminta KPUD Lampung membatalkan keputusan KPUD, tetapi putusan MA tidak dilaksanakan oleh KPUD dan KPUD tidak mendapatkan sangsi apa-apa. Apakah keadaan ini juga bisa terjadi? mengingat sifatnya lebih luas (nasional). Seorang ahli Hukum Tata Negara berpendapat, seharusnya KPU melaksanakan saja putusan MA tersebut, jika ada pihak yang berkeberatan, sengketa hasil pemilu dapat diajukan keberatan ke MK, biarlah MK yang memutuskan secara final.



Perubahan DPT Melanggar UU

Daftar pemilih tetap pemilu presiden yang diubah sebanyak tiga kali oleh Komisi Pemilihan Umum adalah pelanggar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi perubahan SK KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara, yaitu 6 Juli. Dalam UU Nomor 42/2008 ditegaskan bahwa penetapan DPT paling lambat 30 hari menjelang pemungutan suara.
DPT hanya dapat ditetapkan satu kali saja oleh KPU, jika ditetapkan berkali-kali dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang pemilu.
Pekan lalu, Bawaslu meminta klarifikasi KPU terkait dengan DPT dan hitung cepat melalui sistem pesan pendek (SMS). KPU mengubah DPT melalui sebuah SK sebanyak dua kali, yaitu pada 8 Juni dan 6 Juli. Selain itu, DPT juga berubah pada 7 Juli karena adanya KPU kabupaten/kota yang baru memasukkan data pemilih satu hari menjelang pemungutan suara.
Terkait dengan rekomendasi Panitia Pengawas Pemilu mengenai perubahan DPT, banyak Panwas daerah yang tidak melaporkan ke Bawaslu. Dalam rapat koordinasi Panwas memang dibicarakan mengenai rekomendasi terkait DPT dan ada beberapa provinsi yang melaporkan.
Di UU No 42/2008 disebutkan, Panwas mengawasi jalannya penyusunan DPT, kemudian memberikan rekomendasi. Bukan saat DPT sudah ditetapkan, lalu ada rekomendasi Panwas dan KPU bisa mengubah DPT, itu merupakan pelanggaran UU,Pengawasan atas penyusunan daftar pemilih diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No 42/2008. Pasal 31 menyebutkan, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan daftar pemilih sementara, pemutakhiran DPS, dan penyusunan DPT.

Izin Ganjal Pemeriksaan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 Tahun 2009 menyebutkan, untuk penyidikan kepala daerah atau wakil kepala daerah serta anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diduga melakukan korupsi dan terorisme atau tertangkap tangan tak perlu izin tertulis. Namun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, mengakui, penerapan SEMA itu masih terganjal perlunya izin dari Presiden, terutama untuk kepala daerah yang dibentuk setelah era Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan itu sudah disampaikan ke MA sehingga akan dikaji, jika tidak segera diluruskan, bisa menjadi krikil tajam pemberantasan korupsi di republik ini.

Permohonan paten dari AS tempati urutan teratas

Permohonan paten dari Amerika Serikat hingga kini (periode Jan.-Mei 2009) menempati urutan teratas disusul oleh Jepang.

Menurut data Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, selama periode Januari permohonan paten dari AS mencapai 423.

Paten asing kini lebih cenderung memilih fasilitas Patent Cooperation Treaty (PCT) dalam mengajukan paten ke Indonesia. Tren penggunaan PCT kini cenderung meningkat karena lebih efisien bila dibandingkan dengan cara mengajukan permohonan langsung ke Indonesia.

KLAUSUL Mahasiswa akan dikenai denda

LOUISIANA: Lousiana State University akan memberikan denda senilai US$50 bagi setiap mahasiswa yang mengunduh dan berbagi file pada jaringan universitas itu secara ilegal.

Denda ini rencananya diberlakukan universitas tersebut kepada para mahasiswanya, mulai 1 Agustus. Tindakan itu dilakukan dalam rangka mendukung Digital Millennium Copyright Act.

Juru bicara Louisiana State University, Sheri Thompson, menyebutkan sedikitnya 200 pengunduhan secara ilegal dalam sistem komputerisasi universitas itu tahun lalu.

Sanksi denda ini, menurut Thompson, dikenakan kepada para mahasiswa karena adanya kecenderungan peningkatan jumlah pelanggaran secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

CARI

Antasari Diperiksa Terkait Pelanggaran Kode Etik